Masa depan sebuah negara berada pada generasi penerusnya. Kalimat
itu tentu saja benar adanya. Ya, masa depan bangsa ini tentu berada di tangan
para generasi mudanya, sebab merekalah yang akan melanjutkan pembangunan negara
ini, dan kita berharap negara kita tercinta ini pun bisa terus maju dan
sejahtera nantinya di tangan para penerus bangsa ini.
Namun apa yang terjadi, bila banyak
anak-anak kita sejak kecil sudah mengalami sakit-sakitan? Mereka tidak tumbuh
dalam kondisi yang sehat? Mereka terlilit dalam gizi buruk? Mereka terjebak
dalam busung lapar? Mereka diserang berbagai macam penyakit? Tentu ini
menjadi masalah besar yang harus kita enyahkan.
Dan ternyata, anak-anak kita yang masih belia saat ini banyak yang berpotensi penyakit yang dapat menggangu mereka di usia produknya kelak. Bahkan berdasarkan data
yang dirilis oleh Double Burden of Diseases & WHO NCD Country Profile pada
2014, menunjukkan bahwa angka kematian karena Penyakit Tidak Menular (PTM)
meningkat drastis. Jika pada tahun 1990 angka kematian akibat PTM baru mencapai
58%, pada 2014 angka tersebut naik menjadi 71%.
Sungguh mengerikan bukan?
Kenaikannya begitu cepat, dan tentu hal ini menjadi perhatian serius bagi kita
bersama, semoga anak-anak di negeri kita ini bisa tumbuh sehat dan menjadi para
penerus negeri yang hebat nantinya.
Selain itu, masalah stunting juga
menjadi persoalan yang tak kalah sengitnya, karena ternyata, jumlah anak yang
mengalami stunting di negeri kita ini merupakan yang juga tertinggi di Asia
Tenggara. Dimana stunting ini bukan hanya terjadi pada anak dari
keluarga miskin, namun juga terjadi pada anak dari keluarga yang tidak miskin.
Dan saat ini, pemerintah pun
terus berupaya untuk menurunkan jumlah angka stanting, hal ini tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga 2024 mendatang dengan
terus melakukan berbagai upaya intensif dan serius di 100 daerah dengan
prevalensi stunting tinggi di Jawa dan luar Jawa.
Seminar Nasional Hari Gizi Nasional 2020
Terkait hal ini, kemarin
(26/02/20), PP Aisyiyah bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia
(YAICI) pun menggelar Seminar Nasional dengan tema yang bertajuk “Peluang dan
Tantangan di Bidang Kesehatan dalam Meraih Bonus Demografi 2045” yang bertempat
di Gedung A Kementerian Pendidikan & Kebudayaan, Senayan – Jakarta Pusat.
Tampak hadir dalam acara seminar
ini ada Ibu Intan Fitriana Fauzi, SH.LLM selaku Komisi IX DPR RI, ada juga Ibu
dr. Kirana Pritasari MQIH Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes – RI, ada juga
Ibu Dra. Chairunnisa M.Kes selaku Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah dan ada
Bapak Arif Hidayat, SE.MM, selaku Ketua Harian YAICI sebagai pembicara dan
dipandu oleh Kang Maman sebagai moderator dalam acara ini.
Seminar Nasional membahas tentang peluang dan tantangan di bidang kesehatan dalam meraih bonus demografi |
Sebab nantinya, diperkirakan, pada tahun 2045 ada sebanyak 70 persen dari total jumlah penduduk Indonesia berusia produktif (usia 15 - 64 tahun). Sisanya sebanyak 30 persen adalah penduduk tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun).
Maka dengan jumlah usia produktif
mencapai 70 persen, maka beban tanggungan dari penduduk usia produktif menurun
atau menjadi rendah, yakni antara 0,4 - 0,5 persen. Dan itu artinya, setiap 100
penduduk usia produktif hanya menanggung 40-50 penduduk non produktif.
Namun untuk mewujudkan generasi
muda yang produktif di masa mendatang bukanlah perkara yang mudah, karena masih
banyak hal yang menjadi kendalanya. Salah satunya, masih tingginya angka
stunting yang di derita oleh anak-anak di Indonesia, meski secara bertahan
sudah mulai menurun.
Hal ini diungkapkan oleh Ibu Dr.
Kirana Pritasari MQIH selaku Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemkes bahwa trend status gizi, prevalensi stunting
dan gizi buruk kian menurun. Tapi angka ini masih di atas toleransi WHO.
Toleransi WHO untuk gizi buruk adalah 10% dan stunting 20%. Dan ini, Indonesia
masih 30%, di atas toleransi WHO tersebut.
“Ini yang mengakibatkan
penyelesaian masalah gizi jadi masalah nasional. Jadi jika misalnya balita kita
22 juta, kalau yang stunting 30,8 %, jumlah itu lebih besar dari penduduk
Singapura,” ujar Kirana.
BACA JUGA: Stunting Mengancam Anak Bangsa
Dan pemerintah sendiri telah menyiapkan berbagai strategi dalam menurunkan dan mencegah stunting. Dimana targetnya adalah pada 2024 stunting turun menjadi 14%, salah satunya melalui prioritas penanganan stunting yang dilakukan terhadap 260 kab/ kota.
Namun untuk menurunkan angka
stunting ini tentu bukan hanya dibebankan kepada pemerintah saja. Diperlukan
kerjasama semua pihak, baik pemerintah pusat hingga daerah, akademisi, tenaga
kesehatan, masyarakat, organisasi profesi bahkan produsen makanan dan minuman.
Sebab, produk makanan yang dijual oleh produsen ikut menentukan pola konsumsi masyarakat.
Camkan, Kental Manis itu Bukan Susu!
Selain itu, kampanye dan edukasi
kesehatan dan gizi untuk masyarakat pun perlu untuk dilakukan, sebagaimana
edukasi gizi dan bijak konsumsi susu kental manis yang dilakukan oleh PP
Aisyiyah. Sebab masih banyak masyarakat yang terjebak dalam minimnya informasi
dan ilmu pengetahun yang cukup tentang gizi, terutama pemahaman terkait kental
manis.
Dan seperti yang diungkapkan oleh
Ibu Kirana bahwa “Kental manis itu adalah
perasa, balita tidak boleh mengkonsumsi sebagai minuman sebelum tidur, jadi
bukan untuk kebutuhan pemenuhan gizi.”
perlu kita sadari bahwa kental manis buka susu yang bisa diberikan pada bayi dan balita |
Hal ini juga yang disampaikan
oleh Bapak Arif Hidayat selaku Ketua YAICI bahwa produk kental manis nyaris
seabad diiklankan sebagai minuman susu yang telah mengakibatkan kesalahan
persepsi pada masyarakat. Makanya banyak masyarakat yang beranggapan produk
kental manis yang mengandung gula 54% tersebut dapat diberikan kepada bayi dan
balita sebagai minuman susu.
Lebih lanjut beliau menyambpaikan
bahwa puncak dari masalah ini menjadi sorotan adalah saat ada temuan balita
menderita gizi buruk akibat mengkonsumsi susu kental manis di Kendari dan
Batam, dan salah satunya meninggal dunia.
Sungguh miris bukan? Ternyata fakta
bahwa produk yang diklaim sebagai susu oleh produsen ini telah membuat banyak
orang terjebak dalam pengertian yang salah, bahwa ternyata kental manis ini kandungan
gulanya jauh lebih tinggi dari kandungan protein yang ada.
BACA JUGA: Awas, SKM Bukan Susu
Namun, jika kita telisik lebih jauh, banyaknya masyarakat yang terjebak dalam pemahaman kental manis sebagai susu ini juga terletak pada minimnya kampanye dan sosialisasi terkait hal tersebut yang tidak merata diterima oleh masyarakat Indonesia.
Ya, keterbatasan media informasi hingga promosi produk makanan dan minuman dari produsen juga yang begitu masif mengakibatkan kampanye-kampanye kesehatan kurang bergaung seperti yang terjadi pada produk kental manis ini sehingga masyarakat salah pengertian.
Selain itu, Bapak Arif juga
menilai bahwa kampanye atau penjualan offline yang dilakukan oleh SPG produk
kental manis serta penempatan produk di supermarket masih kerap dicampurkan
dengan produk susu anak lainnya.
“Hal-hal seperti ini yang perlu
peran pengawasan dari masyarakat. Regulasinya sudah ada, namun sayang sekali
penerapan di lapangan tidak tepat. Sehingga edukasi atau kampanye kesehatan
yang digaungkan pemerintah juga akan rancu dimata masyarakat. Karena itulah
kami meminta kesadaran produsen dan peran sertanya mengedukasi masyarakat
dengan cara jujur dalam berjualan,” jelas Arif.
Lebih lanjut Bapak Arif menyampaikan bahwa sebanarnya pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sudah mengeluarkan PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan pada Oktober 2018, yang telah mengatur mengenai label dan iklannya. Namun sayangnya, pengawasan terhadap penerapan di lapangan masih belum optimal.
Menyadarkan masyarakat tentang kental manis bukan susu ini perlu kerjsama semua pihak |
Maka dari itu, Ibu Intan menegaskan
bahwa masyarakat sebagai konsumen harus bijak dalam hal ini “Sekarang sudah
jelas ada regulasinya, sehingga produsen hingga distributor wajib menerapkan.
Nah konsumen juga seharusnya sudah dapat memilah bahwa susu kental manis itu
bukan termasuk kategori susu.”
Dan Ibu Aisyiyah Chairunnisa
selaku Ketua Majelis Kesehatan PP juga mengungkapkan kehkawatirannya akan bonus
demografi apabila pemerintah masih abai terhadap persoalan kental manis yang
kini masih terjadi.
Untuk itu, Beliau berharap bahwa
pemerintah harus benar-benar serius menyikapi hal ini dan jangan sampai pemerintah
terlihat hanya seolah-olah hanya berkewajiban mengeluarkan regulasi, namun
impelementasinya tidak efektif.
“Jangan sampai, akibat kelalaian
hari ini, kita menghadapi bonus demografi yang menjadi beban bagi negara nanti,
karena ancaman diabetes ataupun obesitas yang mengganggu usia produktif,” jelas
Chairunnisa.
Dampak Konsumsi Kental Manis Bagi Balita
Jadi, meski kental manis itu
harganya murah, namun bukan berarti bisa kita jadikan sebagai minuman pengganti
susu dan diberikan terutama pada balita, karena kental manis itu lebih banyak mengadung
Karbohidrat (KH) dan gula yang jauh lebih tinggi, serta protein yang jauh lebih
rendah dari susu full cream, dan itu bisa membahayakan bagi balita kita.
Dan perlu kita pahami bahwa organ
di dalam tubuh bayi dan juga balita itu belum berkembang secara sempurna,
sehingga belum bisa mencerna nutrisi komplek selain Air Susu Ibu (ASI) dan susu
formula. Makanya ketika kita memberikan kental manis maka bisa beresiko bagi
organ tubuhnya.
Ya, salah satunya, ginjal bayi
atau balita kita bisa mengalami kerusakan fungsinya, karena membuat ginjal
terpaksa bekerja lebih keras untuk mencerna karena kental manis ini memiliki
natrium yang kadarnya melebihi kemampuan cerna ginjal bayi dan balita.
Dan sebenarnya sudah beberapa
kasus yang terjadi, bahwa pemberian kental manis pada bayi dan balita bisa
menyebabkan gizi buruk seperti yang terjadi di Kendari beberapa waktu yang
lalu, dimana bayi tersebut tampak kurus, hanya bisa terbaring lemah dan kulit
di beberapa bagian tubuhnya mengelupas.
Semoga kasus seperti ini tidak
terjadi lagi di masyarakat kita. Dan perlu kita pahami bahwa kental manis itu
bukan diberikan pada bayi atau balita. Bahkan jika diberikan pada anak
sebaiknya di atas usia 5 tahun, dan itu pun kental manisnya disajikan sebagai campuran
makanan dan minuman, seperti jus, cake, kopi, susu, roti, biskuit dan lainnya.
Kental manis itu sebaiknya digunakan sebagai topping pada makanan atau minuman saja |
Meskipun kental manis bisa menjadi campuran terlezat untuk makanan manis, tapi sekali lagi saya ingatkan bahwa kental manis tidak cocok untuk anak di bawah usia 5 tahun yang masih membutuhkan lemak dan protein tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Sudah saatnya, kita cerdas dalam
memilah makanan dan minuman yang layak bagi anak-anak kita, agar mereka tidak
terjebak dalam masalah di masa mendatang karena kesalahan kita sebagai orang
tuanya dalam menentukan gizi dan nutrisi yang terbaik mereka di masa kecilnya.
No comments:
Post a Comment