“Hutan adalah paru-paru dunia,”
begitulah penggambaran betapa pentingnya fungsi keberadaan hutan bagi seluruh
dunia. Hutan mempunyai peranan yang begitu vital dalam kehidupan kita ini. Dimana
keberadaan hutan akan menentukan keberlangsungan hidup kita di muka bumi ini.
Makanya
menurut saya, tidak berlebihan jika mengibaratkan hutan sebagai paru-parunya
dunia, karena mengingat hutan merupakan salah satu pendukung yang sangat
penting bagi keseimbangan alam ini. dan bila hutan rusak, maka bencana alam dan
permasalahan hidup akan terjadi di mana-mana.
Untuk itu,
keberadaan hutan yang tetap lestari harus terus kita jaga, mengingat hutan
mempunyai peranan yang penting dalam kelangsungan alam semesta ini. Dan
menyadari betapa penting peranan hutan bagi keseimbangan alam dan kelangsungan
hidup kita di bumi ini, maka pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai
upaya agar hutan di Indonesia tetap terjaga keasriannya.
Salah satu
upaya yang terus dilakukan oleh pemerintah adalah menerapkan program hutan
sosial, yaitu sebuah
program nasional yang digagas oleh pemerintah untuk membuat masyarakat bisa
turut mengelola hutan secara legal dan bisa mendapatkan manfaatnya secara
ekonomi namun tetap wajib juga merawat hutan, sehingga konservasi dan
kesejahteraan bisa sejalan.
Nah, jika
ingin membaca seperti apa upaya pemerintah dalam menjalankan perhutanan sosial
ini, maka teman-teman bisa mambacanya pada tulisan saya yang berjudul Hutan Sosial Untuk Kesejahteraan Rakyat
ini, semoga setelah membaca ini, teman-teman bisa mendapatkan gambaran seperti
apa dan bagaimana hutan sosial hadir di tengah masyarakat.
Ya, pada
dasarnya kehadiran hutan sosial bukan hanya bertujuan untuk menjaga kelestarian
hutan agar tetap terjaga saja, tetapi juga akan memberikan dampak yang sangat
baik bagi kelangsungan hidup masyarakat secara ekonomi.
Dan
pemanfaatan hutan sosial ini sudah merambah ke banyak daerah di seluruh
Indonesia, sehingga kini masyarakat bisa merasakan secara langsung bagaimana
manfaat hutan sosial bagi kehidupan mereka. Dan untuk membagikan segala kisah
di balik perjalanan panjang terkait hutan sosial yang ada di negeri ini, maka
kini dihadirkan sebuah buku berjudul "Lima
Hutan, Satu Cerita".
Memang sih,
buku ini tidak membahas semua hutan sosial yang ada, namun sesuai dengan
judulnya, maka buku ini hanya membahas 5 lokasi hutan saja, atau bisa jadi,
buku ini merupakan langkah awal dari pembukuan cerita terkait hutan sosial yang
ada di seluruh Indonesia. Kita doakan saja ya. :)
Sebab
sejatinya, masih ada lebih dari 5000 hutan sosial yang ada di Indonesia, karena
saat ini hutan sosial sudah direalisasikan seluas 2.23 juta hektar bagi 5.172
kelompok yang mencakup 525.04 KK di seluruh Indonesia.
Buku "Lima Hutan, Satu Cerita" Sudah Terbit
Nah, beberapa
hari yang lalu (05/04/19), saya mendapat undangan untuk menghadiri acara Ngobrolin
Hutan Sosial sekaligus Bedah Buku
"Lima Hutan, Satu Cerita" yang bertempat di Ruang Rimbawan I,
Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Jendral Gatot Subroto – Jakarta Pusat.
Namun sebelum
acara bedah buku dimulai, acara dilanjutkan dengan pembacaan sambutan dari
Bapak Dr Ir Bambang Supriyanto selaku Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan Hidup setelah lantunan lagu Indonesia Raya berkumandang di ruang
Rimbawan I ini.
Bapak Bambang menyampaikan sambutan mewakili Ibu Siti Nurbaya |
Melalui
kesempatan ini, Bapak Bambang mewakili Ibu Siti Nurbaya selaku Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyampaikan sambutannya karena beliau
kebetulan berhalangan hadir. Dalam sambutannya ini, Beliau menyampikan rasa
ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Tosca Santoso
dalam menyampaikan contoh nyata perhutanan sosial yang dituliskan secara
menarik melalui buku Lima Hutan, Satu Cerita ini.
Dimana kelima
lokasi hutan yang ada dalam buku ini tersebar di berbagai daerah yaitu: Padang
Tikar – Kubu Raya (Kalbar), Kemantan (Jambi), Gunung Kidul – Kulon Progo (DIY),
Dungus – Madiun (Jatim), dan Sorengge – Cianjur (Jabar).
Dan Ibu Siti
Nurbaya mengakui bahwa buku "Lima Hutan, Satu Cerita" yang ditulis oleh Bapak Tosca Santoso ini
merupakan sebuah rangkaian cerita yang
dikemas dengan sangat apik, sehingga sangat enak dibaca, mencerahkan dan
memberikan refleksi kehidupan sosial yang nyata dalam pergulatan implementasi
kebijakan nasional Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria.
Dalam
prakteknya, usaha Perhutanan Sosial maupun Reforma Agraria yang merupakan
distribusi lahan hutan kepada masyarakat, berbentuk usaha masyarakat
sebagaimana contoh bervariasi yang dilakukan kelompok masyarakat pada lima lokasi
yang secara sistematis diriwatakan dalam buku ini.
Adapun
variasi bisnis hutan sosial yang sudah dibahas dalam buku ini terdiri dari jasa
lingkungan (ekowisata dan sumber air bersih), agro-forestry (padi, jagung,
kedelai, tebu, tembakau, umbi-umbian, tanaman itrisi), silvo-pastur,
silvo-fishery Biomass dan bioenergy (kemiri sunan, aren, eucaliptus,
calliandra, nyamplung, dll), hasil hutan bukan kayu (madu, rotan, akar, getah,
dll), bahkan industri kayu (sengon, karet, dll). Nah, semua contoh-contoh praktek
ini dibahas dengan sangat rinci dalam buku ini, termasuk dinamika dan kapasitas
pelaku lapangan semua diuraikan dengan baik dalam buku ini.
Dengan
diberikan hak pengelolaan hutan sosial ini masyarakat bisa memanfaatkan kawasan
hutan sosial sesuai dengan potensi yang ada. Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan
melalui kegiatan Bina Usaha Perhutanan Sosial terus berupaya agar lembaga
masyarakat desa hutan atau kelompok tani hutan yang telah mendapatkan hak
pengelolaan maupun izin usaha sosial ditingkatkan kemampuannya dalam
pengelolaan kawasan hutan, dikembangkan kapasitas kelembagaannya dan
kewirausahaannya dalam pengelolaan sumber daya hutan secara optimal, sehingga
dapat bertransformasi menjadi kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang
mandiri.
Dan tidak
dipungkiri, dalam perjalanan hutan sosial bisa sejauh ini tak luput juga dari
berbagai kendala dan permasalahan. Untuk itu, pemerintah menilai bahwa perlu
adanya terus inovasi untuk pengembangan terkait investasi, teknologi, dan
kelembagaan kelompok, fasilitasi, infrastruktur, pendamping/penyuluh juga
pengawasan.
Sebab
sejatinya, selain lima hutan yang dibahas dalam buku ini. Secara nasional,
masih ada sekitar 5572 lokasi untuk hutan sosial dengan capean luas sekitar 2,16 juta hektar
dan 559 kepala keluarga masih terbuka peluang bagi banyak masyarakat untuk dapat
mengelola hutan dengan sumber daya yang lestari.
Lokasi-lokasi
perhutanan sosial ini diharapkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan perekonomi
lokal berbasis pengelolaan sumber daya hutan sehingga nantinya bisa menjadi
ujung tombak dan pelopor dalam mewujudkan upaya pengelolaan hutan lestari.
Mengupas Buku "Lima Hutan, Satu Cerita"
Dan untuk
mengupas lebih mendalam terkait kehadiran buku "Lima Hutan, Satu
Cerita" ini, maka dalam acara ini, tampak hadir Bapak Tosca Santoso selaku penulis buku "Lima Hutan, Satu Cerita" dan juga para narasumber lain,
yaitu Bapak Didik Suharjito selaku
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, dan ada juga Ibu Diah Suradiredja selaku anggota Pokja Perhutanan Sosial serta Bapak Bagja Hidayat selaku Pemimpin
Redaksi Forest Digest yang bertendak sebagai moderator yang memandu jalannya
acara ini.
Buku "Lima
Hutan, Satu Cerita" ini membahas tentang perhutanan sosial yang sudah
sukses dikelola oleh masyarakat yang berada di lima lokasi yaitu:
1. Merawat Mangrove di Padang Tikar - Kubu
Raya (Kalimantan Barat)
2. Hutan Adat, Mata Air Ribuan Hektar
Sawah - Kemantan (Jambi)
3. Ketika Hutan Rakyat Lampaui Luas Hutan
Negeri - Gunung Kidul – Kulon Progo (Yogyakarta)
4. Dungus, Bernaung Jati Setengah Hari - Madiun
(Jawa Timur)
5. Sarongge: Hutan, Kopi dan Mimpi Petani
- Sorengge – Cianjur (Jawa Barat)
Bahkan diakui
oleh Bapak Bagja bahwa buku Lima Hutan, Satu Cerita ini sangat asyik untuk
dibaca, karena Pak Tosca mampu meramu ceritanya begitu menarik, sehingga
menikmati buku ini di dalam kereta Bogor – Tanah Abang tak terasa begitu
menyenangkan, bahkan tahu-tahu sudah habis saja.
Dan ternyata
buku Lima Hutan, Satu Cerita ini merupakan buku pertama dan satu-satunya yang
menceritakan hutan sosial secara naratif dengan gaya story telling sehingga
memiliki getaran yang bisa menyentuh.
Dimana salah
satu cerita yang menarik dari buku ini, adalah bisa mengulik cerita dari
sosok-sosok yang terlibat langsung dalam pengelolaan hutan sosial. Salah satu
kisah yang mengharukan datang dari Bapak Dudu Duroni, bahwa dalam perjuangannya
menjadi petani kopi di Sarongge, bukan hanya ditinggalkan tetangga-tetangganya,
bahkan dia terpaksa bercerai dengan istrinya karena di awal ia merintis kopi
tak cepat membuahkan hasil.
Itulah yang
menarik dari buku ini, hal-hal personal turut disuguhkan dalam buku
setebal 164 halaman ini dengan gaya
bahasa bertutur yang dirangkaiakan dengan kata-kata yang ringan sehingga mudah
dipahami oleh siapa saja, termasuk kaum millennial jika membacanya.
Bahkan diakui
oleh sang penulisnya sendiri, Bapak
Tosca Santoso, bahwa buku ini sederhana sekali, menceritakan bagaimana tokoh-tokoh
hutan sosial dari berbagai sisi hidup tokoh-tokoh tersebut. Makanya ketika
membaca buku ini, kita akan disuguhkan oleh berbagai macam pengalaman hidup
yang akan membuat kita tergugah.
Karena tidak
bisa dipungkiri, kehadiran hutan sosial ini telah mengubah begitu besar kehidupan
masyarakat terutama kelas bawah menjadi lebih baik. Dimana sebelumnya mereka
yang tidak punya lahan, kini bisa menggarap hutan dengan tenang karena sudah
mendapatkan perizinan yang legal dari pemerintah.
Dan diakui
oleh Bapak Tosca bahwa sebenarnya masih banyak sekali daerah lain yang juga
memiliki banyak cerita menarik, namun sayangnya untuk kali ini baru bisa
menuliskan lima hutan sosial saja dulu. Semoga nanti akan ada lagi hutan sosial
lain yang akan diceritakan lagi dalam buku selanjutnya. Kita tunnggu saja ya
teman-teman. :)
Dan diakui
oleh Bapak Didik Suharjito yang
biasa membaca jurnal, bahwa isi buku Lima Hutan, Satu Cerita ini sangat kaya, dan satu-satunya buku menceritakan perhutanan sosial dengan gaya story telling tanpa
mengurangi nilai ilmiahnya, sehingga sangat menarik untuk dibaca dan mudah
dipahami oleh siapapun.
Maka dengan
mambaca buku ini, kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana kehidupan para tokoh
hutan sosial yang ada diberbagai daerah tersebut dengan berbagai kegiatan yang
mereka lakukan dalam mengelola potensi hutan yang ada.
Membaca buku
ini sangat menggugah pembacanya dengan kisah-kisah yang dialami langsung oleh
para tokoh hutan sosial, makanya saat menyelami setiap kata-kata dalam buku ini
kita seolah diajak menelusuri secara langsung seperti apa perjuangan dan kehidupan
orang-orang yang terlibat dalam pemanfaatan hutan sosial ini hingga bisa sampai
di titik ini.
Dan Ibu Diah Suradiredja pun menilai bahwa buku ini memang sangat menarik dengan alur cerita yang enak dibaca, sehingga memberi ruang kepada orang yang membaca buku ini untuk lebih tahu seperti apa karakter dari lima hutan yang berbeda dalam buku ini.
Selain itu, buku
ini juga sekaligus memberitahukan kepada pemerintah tentang evaluasi kerja
pemerintah terhadap pengelolaan hutan soal hingga saat ini, dimana terlihat ada
progres yang luar biasa terhadap bagi kehidupan masyarakat setelah mendapatkan akses
untuk mengelola hutan sosial.
Dimana kehadiran
hutan sosial pada dasarnya telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat khususnya
tertuju pada 3 sasaran utama, yaitu
- Ekonomi, yaitu bagaimana kehadiran hutan sosial bisa memberikan kesejahretaan masyarakat
- Sosial, yaitu hutan sosial akan mencagah terjadi konflik dan kesenjangan sosial di masyarakat
- Ekologi yaitu bagaimana masyarakat memanfaatkan hutan untuk mendapatkan hasil dari hutan tanpa merusak hutan tersebut.
Meskipun
hutan sosial sudah bisa mencapai sasaran-sasaran tersebut, namun tidak bisa
dipungkiri, dalam buku ini sekaligus memberikan kritikan kepada pemerintah,
seperti birokrasi yang lambat, diperlukan pendamping hingga investasi yang
tepat.
Dan implementasi
perhutanan sosial ini mutlak membutuhkan pendamping dari aktivis atau akademisi
yang harus ikut serta selain bimbingan, penyuluhan dan pengawasan dari
pemerintah agar ke depan hutan sosial bisa benar-benar semakin baik lagi.
Untuk itu,
buku ini sangat layak dibaca oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
Perhutanan Sosial pada berbagai lapisan tingkat keterlibatan yaitu pengambil
keputusan, perencana, pendamping, penyuluh, partner, praktisi, pelaku tani dan
masyarakat luas, karena buku ini menjelaskan kepada kita bagaimana dinamika
perjalanan dan interaksi manusia dengan alam dan interaksi antar pelaku
tergambar dengan baik, termasuk berbagai kondisi fisik dan sosial yang ada di
masing-masing lokasi tersebut.
Bukunya berat yaaa, tapi pesannya bisa sampai karena penulisannya mengalir.
ReplyDeletekak kalau mau beli buku ini dimana ya ? terima kasih
Deletekak kalau mau beli buku ini dimana ya ? terima kasih
ReplyDelete