Memiliki anak adalah kebahagian
yang luar biasa bagi setiap orang tua. Makanya tak sedikit para orang tua yang
begitu tidak sabar menanti kehadiran buah hatinya di dunia ini. Ya, anak bisa
dbilang adalah anugerah yang sangat indah yang Tuhan berikan bagi kita, sebab
anak bukan saja menjadi penerus keluarga, namun anak-anak juga menjadi sumber
kebahagiaan dalam menjalani hidup ini.
Namun sayangnya masih ada saja
orang tua yang abai memenuhi hak-hak anaknya, sehingga anaknya lahir dan tumbuh
dalam kondisi kurang gizi dan juga stunting. Rasanya miris jika melihat kondisi
seperti ini, karena pada akhirnya anak-anak lahir dan tumbuh menjadi tidak
optimal.
Penting bagi kita sebagai calon
orang tua ataupun orang tua untuk mengerti, bahwa pemenuhan gizi anak yang tepat
itu begitu penting, karena hal ini erat kaitannya dengan perkembangan dan
pertumbuhan bagi anak-anak kita yang sekaligus sebagai pewaris masa depan
bangsa ini.
Apa jadinya bangsa ini jika
generasi penerusnya tumbuh dalam kondisi stunting atau pun dalam permasalah
gizi lainnya?
Untuk itu kemarin (29/01/19), Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) mengelar diskusi publik untuk menyambut hari gizi nasional 2019 dengan tema “Menuju Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045” di Aula LBH Jakarta, Menteng - Jakarta Pusat.
Untuk itu kemarin (29/01/19), Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) mengelar diskusi publik untuk menyambut hari gizi nasional 2019 dengan tema “Menuju Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045” di Aula LBH Jakarta, Menteng - Jakarta Pusat.
Para Narasumber (Kiri - Kanan): Kang Maman - Bpk. Arif Hidayat - Bpk. Doddy Izwardy - Ibu Yuli Supriyati - Ibu Anisyah |
Tampak hadir para narasumber dalam acara ini yaitu Bapak Ir. Doddy Izwardy, MA., selaku
Direktur Gizi Nasional Kementerian Kesehatan RI, Bapak Arif Hidayat, SH.MH selaku Ketua dari Koalisi Perlindungan
Kesehatan Masyarkat (KOPMAS), Ibu
Anisyah S.Si,Apt, MP selaku Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM, Ibu Yuli Supriyati selaku Wakil Ketua
dari Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarkat (KOPMAS) dan acara diskusi ini dipandu
oleh Kang Maman sebagai Moderator.
Acara ini digelar karena persoalan
permasalahan gizi membutuhkan penangan yang serius dari pemerintah dan dukungan
semua pihak termasuk masyarakat untuk turun tangan dalam mengatasi persoalan
gizi ini.
Kita semua tahu, bahwa saat ini
permasalahan gizi, baik gizi kurang termasuk stunting dan gizi lebih, terjadi
hampir di seluruh strata ekonomi masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan.
Hal ini menunjukkan bahwa yang mendasari terjadinya masalah gizi tersebut bukan
hanya kemiskinan, namun juga kurangnya pengetahuan masyarakat akan pola hidup
sehat dan pemenuhan gizi yang optimal.
Untuk itu, hal ini penting kita
bahas agar wawasan masyarakat semakin luas dan sadar betapa pentingnya
permasalahan gizi ini diperhatikan dengan serius, karena tidak bisa kita
pungkiri bahwa stunting dan masalah gizi lainnya ini merupakan ancaman besar
bagi negara kita ini, karena akan berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya
manusia ke depannya.
Bapak Doddy selaku Direktur Gizi Nasional Kementerian Kesehatan RI |
Dan diakui oleh Bapak Doddy bahwa anak kurang gizi
kronis (stunting) berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan, kerentanan
terhadap penyakit (menderita penyakit degenerative saat dewasa), menurunkan
produktivitas, dan ujungnya meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan.
Pada otak anak stunting akan
terganggu “synaps” (serabut saraf penghubung sel-sel otak), yang menyebabkan
berkurangnya kecerdasan. Bahkan menurut
hasil survei tingkat kecerdasan anak Indonesia tertinggal dari Singapura,
Vietnam, Thailand dan Malaysia.
Berdasarkan asesmen yang
dilakukan pada tahun 2012 oleh OECD PISA (Organisation for Economic Co-operation and Development -
Programme for International Student
Assessment), suatu organisasi global bergengsi, terhadap kompetensi 510.000
pelajar usia 15 tahun dari 65 negara, termasuk Indonesia, dalam bidang membaca, matematika, dan science maka
Indonesia berada di nomor 64 alias nomor 2 dari belakang. Sungguh menyedihkan
bukan? :(
Dan rendahnya prestasi anak
bangsa Indonesia ini tentu saja tak lepas dari pengaruh tumbuh kembang dan
kecerdasan yang disebabkan tidak terpenuhinya gizi yang seimbang yang
dikonsumsinya. Dan hal ini terjadi karena begitu kompleknya determinan penyebab
masalah gizi dari berbagai faktor, yaitu: Penyebab lansung (asupan/pangan/gizi
dan kesehatan), Akses pangan, pola asuh, air minum/sanitasi, dan juga root cause yang menyangkut kelembagaan,
politik dan ideology, kebijakan ekonomi dan sumber daya lingkungan, teknologi
serta kependudukan.
Untuk itu, pemerintah tidak
tinggal diam, ada beberapa kebijakan yang dilakukan untuk percepatan perbaikan
gizi bagi anak-anak Indonesia, diantaranya telah diatur melalui peraturan dan
instruksi presiden seperti berikut ini:
- Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi yang mengatur Penurunan stunting fokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan dan pendekatan multisektor.
- Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Germas dengan banyak melakukan Aktivitas fisik, Konsumsi makanan sehat, melakukan deteksi dini, menjaga lingkungan sehat, memberikan pendidikan kesehatan dan menerapkan pola hidup sehat.
- Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi yang menyangkut ketersediaan pangan, Keterjangkauan pangan, Pemanfaatan pangan, Perbaikan gizi masyarakat, dan Penguatan kelembagaan pangan dan gizi.
Langkah ini dilakukan pemerintah sebagai
upaya untuk penurunan stunting, dimana hal ini sebagai salah satu prioritas
nasional dengan menyusun kerangka penanganan stunting melalui konvergensi program
di tingkat pusat hingga ke tingkat daerah.
Terkait dengan hal ini, perlu juga
menggiatkan peran UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) seperti
Posyandu dan organisasi kemasyarakatan, antara lain PKK, Karang Taruna,
organisasi keagamaan dalam rangka penurunan stunting dan masalah gizi lainnya.
Dan berdasarkan Riskesdas 2018
menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia. Namun hal
ini tetap menjadi perhatian serius bagi kita semua agar anak-anak Indonesia
benar-benar bisa tumbuh menjadi generasi yang sehat dan terbebas dari segala
persolan gizi.
Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari
37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk
dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.
Namun kondisi perbaikan status
gizi di atas berbanding terbalik dengan peningkatan proporsi obesitas pada
orang dewasa yang terus mengalami kenaikan sejak tahun 2007 yaitu 10,5% (Riskesdas
2007), 14,8% (Riskesdas 2013) dan 21,8% (Riskesdas 2018). Hal ini pun patut
menjadi perhatian kita semua, karena obesitas merupakan salah satu ancaman bagi
kesehatan manusia yang belakangan ini banyak menimbulkan berbagai komplikasi
penyakit tidak menular.
Selain itu, ternyata prevalensi
Penyakit Tidak Menular juga mengalami kenaikan dibandingkan dengan Riskesdas
2013, antara lain kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan
hipertensi. Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9%
menjadi 8,5%; dan hasil pengukuran tekanan darah, hipertensi naik dari 25,8%
menjadi 34,1%.
Bapak Arif Hidayat selaku Ketua KOPMA |
Bapak Arif Hidayat selaku Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan
Masyarkat (KOPMAS) mengungkapkan meskipun data Riskesdas 2018 menunjukan adanya
perbaikan status gizi pada belita di Indonesia, namun ancaman gizi buruk dan
stunting akan terus mengetahui anak-anak di Indonesia. Hal itu disebabkan
karena masih minimnya edukasi mengenai gizi.
Bahkan Pak Arif menyebutkan, jika
kita datang langsung ke kampung-kampung yang aksesnya sulit dijangkau, mungkin
kita akan menemukan lebih banyak lagi penderita gizi buruk, hanya saja kita
belum tahu.
Untuk itu, dalam upaya membantu
pemerintah untuk mengurangi gizi buruk ini, maka Koalisi Perlindungan Kesehatan
Masyarakat (KOPMAS) yang peduli akan kesehatan masyarakat melakukan kunjungan
dan pemantauan ke beberapa wilayah yang tercatat sebagai wilayah dengan tingkat
gizi buruk tinggi diantaranya Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah tepatnya di
Semarang, NTT dan Papua untuk mengetahui apakah masih ada anak-anak di wilayah
tersebut yang terkendala kesehatannya karena gizi buruk.
Dan dari rangkaian kunjungan
tersebut, diakui oleh Ibu Yuli Supriyati
bahwa pada awalnya anak-anak terlahir normal, namun menginjak usia 1- 2 bulan kemudian
mengalami sakit, panas tinggi dan terlambat penanganannya, dan mayoritas
anak-anak ini tidak punya BPJS sehingga sulit mengakses rumah sakit.
Selain itu, masih ditemukan
orangtua yang memberikan susu kental manis (SKM) sebagai minuman bernutrisi
untuk anak-anak, sehingga hal ini justru membuat anak-anaknya mengalami
kekurangan nutrisi bahkan terindikasi mengalami gizi buruk.
“Pemahaman yang salah di masyarakat kita hingga saat ini
bahwa SKM adalah susu yang memiliki nutrisi tinggi bagi anak-anak terutama bayi,
padahal kandungan gula pada SKM 50% adalah gula.”
Untuk itu, Bapak Arif menuturkan
bahwa KOPMAS ingin bersama-sama pemerintah dan swasta serta NGO-NGO lainnya
untuk terus melakukan edukasi tentang pentingnya pemenuhan gizi seimbang kepada
masyarakat. Sebab, beliau menilai, bahwa hal ini merupakan tanggung jawab kita
bersama dan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah saja.
Selain itu, edukasi kepada orangtua
juga sangat penting, terutama kepada seorang ibu karena Ibu merupakan sosok
penting yang akan melakukan perubahan besar di dalam rumah tangganya terutama
yang mengurus pemenuhan gizi bagi keluarga, terutama untuk anak-anaknya.
Maka dari itu, masyarakat sebagai
calon orangtua ataupun orang tua harus mendapatkan edukasi betapa pentingnya pemenuhan
gizi seimbang pada 1000 Hari Pertama Kehidupan bagi anak. Hal ini perlu
dilakukan karena edukasi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) kepada masyarakat
merupakan prioritas pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam rangka
peningkatan status gizi anak dan menurunkan angka stunting dan gizi buruk.
Jadi perlu kita semua tahu, bahwa
yang dimaksud dengan 1000 Hari
pertama kehidupan (HPK) pada anak yaitu
dimulai saat pembuahan di dalam rahim ibu sampai anak berusia 2 tahun,
dimana masa-masa ini merupakan kesempatan emas dalam mencetak generasi
berkualitas bebas stunting dan masalah gizi lainnya.
Ya, bisa kita bilang bahwa 1000
HPK ini adalah periode yang tidak boleh diabaikan, karena menjadi penentu
tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan dan produktivitas seorang anak nantinya.
Makanya banyak yang menyebut bahwa 1000 HPK itu sebagai masa emas tumbuh
kembang anak yang tidak mungkin terulang.
Jadi kita sebagai orang tua harus
benar-benar memberikan asupan gizi yang tepat dan seimbang pada masa 1000 HPK
ini agar anak-anak bisa tumbuh optimal secara lahir dan batin sehingga bisa
menjadi aset sumber daya manusia kebanggaan bangsa ke depannya.
Namun perlu juga kita sadari,
bahwa asupan makanan yang bergizi tidak lepas juga dari peran BPOM yang akan
memberikan pengawasan pangan olahan sebagai upaya dalam perlindungan kesehatan
masyarakat.
Ibu Anisyah selaku Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM |
Untuk itu, Ibu Anisyah selaku Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM
menuturkan bahwa menurut WHO bahwa terkait dengan keamanan pangan ini, kejadian
stunting disebabkan terutama oleh beberapa hal, di antaranya: Kurangnya asupan
gizi, Tingginya prevalensi infeksi, Kurangnya keamanan pangan dan air, serta rendahnya
kualitas pangan terutama pada fase kritis (1000 HPK).
Melihat hal ini, maka BPOM
memilih empat peran penting dalam upaya mencegah semakin meningkatnya angka stunting
dan permasalahan gizi lainnya pada anak-anak, diantaranya:
- BPOM melakukan pengawasan obat dan makanan dengan menerapkan sistem yang komprehensif (full spectrum atau life cycle process) meliputi seluruh siklus proses, sejak awal proses suatu produk sebelum diedarkan (pre-market) hingga selama produk tersebut beredar di tengah masyarakat post-market). Namun, Pengawasan Obat dan Makanan full spectrum yang dilakukan oleh BPOM belum mencakup perizinan sarana yang menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan.
- Penetapan Regulasi Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan khususnya pangan kelompok 1000 HPK dengan mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dimana Kepala Badan POM mempunyai kewenangan untuk dapat menetapkan regulasi pangan olahan tertentu terutama pangan untuk kelompok 1000 HPK produk untuk misalnya bayi, anak, dan ibu hamil atau menyusui sesuai dengan Peraturan Kepala Badan POM No. 1 Tahun 2018 tentang Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus.
- Pengawasan Program Fortifikasi Pangan yaitu dengan melakukan Penguatan manajemen pangan fortifikasi, Peningkatan supply & demand pangan fortifikasi, Pengembangan capacity, Pemantauan kualitas pangan fortifikasi, juga Monitoring dan evaluasi pangan fortifikasi.
- Pemberdayaan Masyarakat dengan melakukan Gerakan Masyarakat Sadar Pangan Aman (Germas SAPA) dengan program antara lain: Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD), Pasar Aman (Paman), Pembinaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sinergisme desa yang diintervensi (untuk Desa Pangan Aman) dengan desa yang diintervensi untuk pencegahan stunting.
Diharapkan dengan empat langkah
penting ini, BPOM pun diharapkan bisa menurunkan angka stunting dan permsalahan
gizi lainnya yang meningkat anak-anak Indonesia. Sehingga diharapkan ke depannya,
anak-anak Indonesia bisa tumbuh optimal sehingga menjadi genarasi penerus
bangsa yang gemilang di masa yang akan datang.
Untuk mewujudkan Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045 perlu kerjasama semua pihak untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi pada 1000 HPK |
Nah untuk itu, tentu
saja kita semua harus bekerjasama, sebab dengan adanya sinergi dari semua pihak, baik dari pemerintah dan swasta maupun lembaga-lembaga non pemerintah dalam mengedukasi masayakat terkait pentingnya pemenuhan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan anak, maka diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup generasi muda Indonesia, sehingga
nantinya, kita benar-benar bisa mewujudkan zero gizi buruk dan stunting pada
tahun 2045 mendatang. Aamiin…
No comments:
Post a Comment