Hari ini udara pagi sangat
dingin, sampai jari-jari tanganku kaku dan membiru. Ibu memakaikanku jaket,
lalu topi kipluk dan sarung tangan dan juga kaos kaki.
"Tetap diatas tempat tidur
ya sayang, Jangan kemana-mana ya, Ibu mau masak dulu" ucap Ibuku lalu
bergegas meninggalkan aku dikamar menuju dapur.
Aku menyibak gorden jendela
kamarku yang lusuh, menatap kabut yang
tampak begitu pekat diluar, seolah pagi ini dikepung asap tebal, jarak
pandangku pun hanya mampu menjajal daun-daun singkong dihalaman rumah.
"Buuuu, kopi mana?"
Gelegar suara Bapak memecah kesunyian pagi yang benar-benar hening.
"Oooh Bapak sudah pulang
dari kebun" gumamku senang.
Ku dengar gerak langkah Ibu yang
melewati kamarku, tampak segelas kopi yang masih mengebulkan asap ditangan Ibu.
Dan aroma kopinya membuatku sungguh tergoda.
"Mengapa muka Bapak seperti itu" tanya Ibu sembari
memindahkan kopi dari nampan keatas meja kayu di depan Bapak.
"Sepertinya gagal panen lagi
kita Bu, cabe dan tomat banyak yang busuk karena cuaca yang buruk seperti
ini" Bapak berdiri menggantung topi
koboynya pada paku di dekat pintu.
Aku hanya mematung dibibir pintu
kamarku, melihat Ibu dan Bapak yang masih membahas tentang cuaca dan hasil
panen yang terancam gagal pada musim panen kali ini.
"Tapi mau bagaimana lagi
Pak, kita tak bisa melawan cuaca, belum rejeki kita Pak" Suara Ibu mencoba
bijak menenangkan Bapak.
Tampak Bapak mengurungkan
langkahnya dan kembali duduk dikursi kayu jati didekat pintu, dan kulihat
dengan jelas kecewa tergambar sangat nyata diraut wajah Bapak.
"Kenapa Tuhan mengirim cuaca
buruk disaat musim panen seperti ini?" Umpat Bapak kesal.
"Iling Pak, Istigfar...
tidak baik berprasangka buruk pada Gusti Allah" Timpal Ibu mengingatkan
Bapak.
"Anak itu benar-benar
pembawa sial, benar kata Ki Jarot, selama anak itu dirumah ini, apapun usaha
kita tak akan ada yang sukses" Gusar Bapak lantang.
"Pak Istigfar.., jangan
semua kejadian buruk dihidup kita dikaitkan dengan kehadiran Nando"
tantang Ibu sengit.
"Tapi kenyataannya begitu
Bu, sejak dia hadir di hidup kita, selalu saja banyak masalah, dan anak itu
bisanya hanya bikin malu dengan wujudnya yang tidak jelas itu" Emosi Bapak
memuncak.
"Pak sadar, jangan selalu
anak itu dijadikan tumbal untuk setiap kegagalan dan emosimu, dan tak
sepantasnya Bapak merendahkan pemberian Allah dengan berbicara seperti
ini" ucap Ibu kesal.
"Tapi itu kenyataannya
Bu" nada suara Bapak meninggi.
"Cukup Pak!" Potong Ibu
dalam tangisnya yang tertahan.
Bapak menghela nafasnya dengan
berat, lalu membakar sebatang rokok di teras. Kemudian sunyi kembali berdetak,
membawa langkah ibu kembali ke dapur dan aku tersudut diujung jendela kaca yang
rabun.
"Apakah benar, aku ini telah
membawa sial untuk keluarga ini?" Menderu tanya ini hadir menyapaku.
Masihku ingat, kemarin Ibu Munah
mengoceh dengan Ibu-ibu lain saat kulewat bersama Ibu sepulang dari kebun, kalo
kehadiranku dikeluarga ini selalu membawa banyak masalah dan kesialan.
Airmataku jatuh tak mampu ku
cegah kala mengingat semua itu, namun cepatku hapus dengan ujung jaketku.
"Kamu itu adalah matahari
dirumah ini, kamu adalah harta Ibu dan Bapak yang paling berharga, jadi jangan
pernah dengarkan apa kata orang lain yang menjelek-jelekan kamu" Selalu
dan selalu Ibu menyemangatiku dengan kalimat ini jika aku sedih karena
diolok-olok atau dihina orang lain, dan pelukan Ibu selalu membuatku tenang.
"Ayo kamu ikut Bapak"
tanganku diraih oleh Bapak membuatku sedikit terkaget dari lamunanku.
Bapak menarik tanganku dengan
kasar. Dan tanpa mampu kulawan, aku digiring oleh Bapak keluar rumah, menembus
kabut pagi yang masih kental.
Aku tak punya pilihan lain selain
mengikuti jalan Bapak yang masih erat menggenggam tanganku seolah takut aku
kabur.
Dalam diam, langkah yang kami
lewati dipenuhi embun-embun yang menyirami rumput liar, lalu menembus pohon
pinus yang berjejer lebat, mendaki tanjakan bebatuan kapur yang basah, lalu
melewati sungai kecil dengan airnya yang keruh.
"Kemana Bapak akan membawaku
pergi, ini bukan jalan menuju kebun" gumamku resah.
Aku benar-benar tidak tahu kemana
Bapak akan membawaku pergi, kakiku sudah mulai kepayahan menahan letih, tapi
Bapak masih terus berjalan sampai akhirnya aku tersadar kini kami memasuki
dinding sebuah gua.
"Kamu tunggu disini, jangan
kemana-mana" ucap Bapak menatapku lekat sebelum pergi meninggalkanku.
Aku duduk dibongkahan batu
sembari bersandar pada dinding gua, mataku masih terjaga menatap dari arah tadi
Bapak pergi, aku masih menunggu Bapak balik menjemputku.
Waktu berlalu, entah sudah berapa
lama waktu bergulir, dan tiba-tiba gerimis mulai turun, akupun mulai dihasut
ketakutan ketika petir mulai bergelegar membelah langit, aku benar-benar takut,
aku pengen sembunyi dipelukan Ibu.
"Ibu... Ibu... Ibu...."
panggilku penuh harap.
Udara dingin, rasa takut, rasa
lelah, lapar dan juga ngantuk akhirnya membuatku tertidur, terlelap yang cukup
lama.
Namun sebuah mimpi
membangunkanku, aku melihat wajah Bapak yang tertawa bahagia sambil berteriak
"Akhirnya anak pembawa sial itu telah pergi dari hidupku".
Airmataku jatuh, saat ku sadari
mimpi itu jangan-jangan isyarat jika Bapak benar-benar sudah membuangku
ditempat ini.
"Jangan bersedih, kamu tidak
sendirian" suara itu menggema, namun aku tak jua menemukan dari mana suara
itu bermuara.
***
BACA JUGA KISAH LAINNYA (AKU DAN LARON-LARON ITU)
"Jangan sedih, kamu tidak sendirian..."
ReplyDeleteHmmm..., berasa adem dengan kalimat ini :)
Iya Mas Azzet, tapi siapa gerangan yang memberi suara masih misteri... hehehe
DeleteHiks. Si aku anak kandung atau bukan ya mas? Sedih baca ada yang tega hanya karena "sial"
ReplyDeleteIkutan giveawaynya Mbak Carra Mas. Bikin Flash Fiction.
Tunggu lanjutannya ya Mas Febriyan, akan saya ungkap di cerita selanjutnya :)
DeleteOooh ada GA bikin FF ya? mauu dong Mas Febriyan infonya... mau coba soalnya saya masih belajar nih :)
saya penasaran sama cerita lanjutannya :)
ReplyDeleteLanjutannya belum kelar nih Mba, masih mendam di draft... heheh
DeleteJudulnya singkat pada jelas menyedihkan :(
Delete