Beberapa waktu yang lalu, saya
melihat di salah satu program televisi tengah membahas tentang pernikahan dini.
Tampak kedua anak-anak ini masih sangat muda diundang dalam acara tersebut
dengan wajah mereka ditutupi topeng, yang perempuan berusia sekitar 14 tahun
dan yang laki-laki berusia sekitar 13 tahun. Usia yang masih terbilang belia
untuk memutuskan menikah, padahal seharusnya di usia tersebut, anak-anak ini
masih bermain dan bergulat menuntut ilmu di sekolah.
Belum usai keterjutan saya dengan
berita itu, berita lain pun hadir dengan kabar yang kurang sedap juga, dimana
seorang anak kecil usia sekolah dasar terpaksa dilarikan ke rumah sakit setelah
dipukuli oleh temannya hanya karena berawal dari saling rebutan mainan.
Tidak berhenti di situ saja, kini
dengan mudah bisa kita temukan di sekitar kita ada anak-anak yang sedang merokok,
anak-anak yang tawuran, anak-anak yang mengalami stunting, anak-anak putus
sekolah, dan masih banyak lagi deretan kasus tentang anak-anak yang membuat
hati kita begitu perih melihatnya.
Kenapa begitu banyak kejadian
yang menjerat anak-anak pada kasus-kasus yang begitu rumit? Dan hal ini membuat
anak-anak tumbuh dalam keadaan yang memprihatinkan. Adakah ini murni kesalahan
anak-anak? Tentu saja tidak, sebab tak bisa kita pungkiri, anak-anak itu ibarat
kertas putih yang sangat polos, namun keluarga dan lingkunganlah yang saya
pikir telah mengubah warnanya.
Dan mungkin kita akan sependapat,
bahwa keluarga adalah tempat yang menjadi awal mula pembentukan kematangan kepribadian
seorang anak, sebab anak-anak akan mengikuti dan mencontoh orang tuanya dengan berbagai
kebiasaan dan perilaku yang mereka lihat sehari-hari.
Untuk itu, sangat penting bagi
kita sebagai orang tua untuk menjadi panutan yang baik bagi anak-anak kita. Dan
selain itu, kita pun sebagai orang tua juga harus memahami tentang apa saja
yang menjadi hak-hak bagi anak-anak kita, agar anak-anak kita bisa tumbuh dan
berkembang secara optimal.
Namun sayangnya, masih banyak
orang tua yang belum bisa menjadi panutan bagi anak-anaknya, bahkan tak sedikit
orang tua yang tidak tahu apa saja yang menjadi hak anak-anaknya. Padahal anak-anak
berhak dan seharusnya memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan
lebih optimal selama keluarga paham akan hak-hak anak.
Media Harus Turut Mengedukasi Keluarga Indonesia
Mengingat masih minimnya
informasi ini, maka Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melalui Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak
menggelar Media Gathering yang dihadiri oleh sejumlah media dan blogger dengan
tema “Media Menginspirasi : Media
Mengedukasi Keluarga Wujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030” yang berlangsung
pada Selasa, 17 Juli 2018 silam.
Narasumber: Ibu Dewi (Kiri) dan Ibu Lenny (Kanan) |
Dan hadir dalam acara ini Ibu Lenny N. Rosalin selaku Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak dan
Ibu Dewi Setyarini sebagai Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat yang menjadi narasumber dalam media gathering ini.
Sesuai dengan temanya, acara ini dihadirkan
dengan tujuan untuk mengajak media mendukung edukasi kepada keluarga sesuai
dengan amanat UU Pers dan UU Perlindungan Anak untuk pemenuhan hak anak. Sebab
tidak bisa kita pungkiri, peran media untuk turut menyebarkan berbagai
informasi yang bermanfaat terkait mengedukasi keluarga di Indonesia juga sangat
diperlukan.
Apalagi menurut data dari kemendagri.go.id
bahwa saat ini di Indonesia tercatat ada sebanyak 69.486.747 Kepala Keluarga yang
diharapkan memiliki komitmen untuk memenuhi hak anak-anak yang berada di bawah
tanggungjawab masing-masing keluarga.
Namun seperti yang saya ceritakan
di atas, pada kenyataannya, berbagai kasus masih menyelimuti dunia anak-anak,
seperti kasus gizi kurang, perkawinan anak, dan lain-lain masih banyak ditemui
di sekitar kita. Hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak hak anak yang belum terpenuhi
oleh keluarganya. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk membantu
keluarga Indonesia memenuhi hak anak, di antaranya melalui edukasi keluarga.
Lantas apa saja sih yang menjadi
hak dari anak-anak? Ternyata anak-anak mempunyai 31 hak yang wajib dipenuhi, di
antaranya sebagai berikut:
Anak mempunyai hak untuk:
1.
Bermain
2.
Berkreasi
3.
Berpartisipasi
4.
Berhubungan dengan orang tua bila terpisahkan
5.
Bebas beragama
6.
Bebas berkumpul
7.
Bebas berserikat
8.
Hidup dengan orang tua
9.
Kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
Anak mempunyai hak untuk mendapatkan:
10.
Nama
11.
Identitas
12.
Kewarganegaraan
13.
Pendidikan
14.
Informasi
15.
Standar kesehatan paling tinggi
16.
Standar kehidupan yang layak
Anak mempunyai hak untuk mendapatkan
perlindungan:
17.
Pribadi
18.
Dari tindakan / penangkapan sewenang-wenang
19.
Dari perampasan kebebasan
20.
Dari perlakuan kejam, hukuman dan perlakuan
tidak manusiawi
21.
Dari siksaan fisik dan non fisik
22.
Dari penculikan, penjualan dan perdagangan atau
trafiking
23.
Dari eksploitasi seksual dan kegunaan seksual
24.
Dari eksploitasi / penyalahgunaan obat-obatan
25.
Dari eksploitasi sebagai pekerja anak
26.
Dari eksploitasi sebagai kelompok minoritas
27.
Dari pemandangan atau keadaan yang menurut
sifatnya belum layak untuk dilihat anak
28.
Khusus dalam situasi genting / darurat
29.
Khusus sebagai pengungsi / orang yang terusir / tergusur
30.
Khusus jika mengalami konflik hukum
31.
Khusus dalam konflik bersenjata atau konflik
sosial
Ibu Lenny menuturkan bahwa peran keluarga sangat penting untuk tumbuh kembang anak-anak |
Itulah hak anak-anak yang harus
kita pahami. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Lenny N. Rosalin bahwa anak-anak akan tumbuh dan berkembang
dengan optimal jika seluruh keluarga di Indonesia memahami dan mendukung
pemenuhan hak anak dalam keluarganya masing-masing.
“Upaya pemenuhan hak anak
memerlukan komitmen yang kuat dari ayah dan ibu maupun orang-orang dewasa yang
ada dalam keluarga. Orang dewasa harus memperluas wawasan dan melatih kepekaan
agar kebutuhan dan hak anak terpenuhi. Jadikan hak anak sebagai prioritas utama
dalam mendampingi tumbuh kembangnya,” ungkap Ibu Lenny.
Untuk mewujudkan pemenuhan hak
anak ini, maka saat ini, Kementerian PP-PA tengah melakukan berbagai
upaya pemenuhan hak
anak untuk mewujudkan Indonesia
Layak Anak (IDOLA) 2030. Hal tersebut dilakukan melalui kebijakan
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
Dimana KLA sendiri merupakan sistem
pembangunan yang berbasis hak anak melalui komitmen yang terintegrasi, yang
melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan media untuk menjamin
pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.
5 Klaster Hak Anak
Pengembangan KLA yang sedang
dilakukan saat ini mengacu pada 24 indikator pemenuhan hak anak dan
perlindungan khusus anak yang secara garis besar terdapat dalam 5 klaster hak
anak. Hak anak yang terdapat dalam 5 klaster meliputi:
inilah 5 klaster hak anak yang perlu kita pahami |
- Hak sipil dan kebebasan adalah menyangkut hak dimana semua anak harus memiliki akta kelahiran, lalu anak memiliki hak untuk mengakses informasi, namun tetap harus diawasi dan dicegah agar anak tidak mengkonsumsi informasi yang tidak layak untuk anak-anak seperti yang bermuatan pornografi dan kekerasan. Dan anak juga memiliki hak untuk meningkatkan partisipasinya.
- Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif adalah bagaimana lingkungan keluarga yang aman dan nyaman bagi anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk penyediaan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) dan upaya penurunan perkawinan usia anak. Lalu untuk anak-anak yang tidak memiliki orang tua (kandung atau pengganti), perlu diciptakan suatu pola pengasuhan alternatif yang berkualitas. Dan disediakan lembaga konsultasi bagi keluarga dalam mendidik dan mengasuh anak, misalnya dalam bentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (PPK).
- Kesehatan dasar dan kesejahteraan adalah menyangkut bagaimana kita memastikan setiap anak sehat dan bergizi baik, lalu anak tumbuh dan berkembang dalam kondisi kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya yang sejahtera. Dan tersedianya pelayanan ramah anak di lembaga-lembaga penyedia layanan kesehatan, terutama di Rumah Sakit dan Puskesmas.
- Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya adalah semua anak harus sekolah, sejalan dengan program Wajib Belajar 12 Tahun, disertai dengan perwujudan Sekolah Ramah Anak (SRA) serta penyediaan Rute Aman dan Selamat ke/dari Sekolah (RASS). Selain itu, pemanfaatan waktu luang yang diperlukan anak karena anak juga harus beristirahat dan mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang memang diminati dan positif, termasuk kegiatan budaya melalui pembentukan Ruang Kreatifitas Anak.
- Perlindungan khusus anak yaitu mencakup upaya-upaya yang harus dilakukan agar setiap anak tidak didiskriminasi dan tidak mengalami kekerasan selama hidupnya. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 59 terdapat 15 anak yang dikategorikan anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK), termasuk anak berkebutuhan khusus, anak penyandang disabilitas, anak pada situasi bencana, anak-anak marjinal, dll.
Dan pada tahun 2018 ini, ada sebanyak
389 Kabupaten/Kota sedang dikembangkan untuk menjadi KLA, dan dari jumlah
tersebut, ada sebanyak 176 Kabupaten/Kota telah berhasil meraih penghargaan
dari berbagai kategori. Dan acara penganugerahan atas penghargaan KLA di tahun
ini akan digelar di Kota Surabaya pada tanggal 23 Juli 2018 yang sekaligus
bertepatan dengan Hari Anak Nasional.
Namun untuk mendukung terwujudnya
Kabupaten/Kota Layak Anak, maka ada beberapa hal yang telah dilakukan, seperti
sosialisasi dan pengembangan program dan fasilitas di tiap daerah seperti
adanya PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga), upaya-upaya untuk mencegah
perkawinan anak, pengasuhan anak berbasis hak anak dan Ruang Bermain Ramah Anak
(RBRA). Di bidang kesehatan anak, dikembangkan fasilitas pelayanan kesehatan
yang ramah anak (Puskesmas Ramah Anak), Pengembangan Kampung Anak Sejahtera
(KAS) untuk mendukung penurunan stunting dan fasilitas ruang ASI, Sekolah Ramah
Anak (SRA), Pusat Kreatiitas Anak (PKA) terus ditingkatkan.
Maka semoga dengan adanya
upaya-upaya di atas, maka kita berharap semakin banyak Kabupaten/Kota yang layak
anak, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal, karena
tidak bisa kita pungkiri anak-anak kita inilah yang nantinya akan menentukan
masa depan bangsa ini kelak.
Pentingnya Perlindungan Anak oleh Media Penyiaran
Namun proses edukasi dan
sosialisasi tentang pemenuhan hak anak ini tentunya harus perlu terus-menerus
dilakukan. Hal ini pun sudah tercantum dalam Pasal 27 ayat (5) UU Nomor 35
Tahun 2014, dimana media memiliki peran dalam perlindungan anak.
Selain itu, media juga memiliki
peran dan fungsi yang telah diatur pada UU Nomor 40 Tahun 1999, pasal 3 tentang
Pers, bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, dan kontrol sosial. Maka melalui media, diharapkan masyarakat bisa
mengetahui segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Ibu Dewi menuturkan bagaimana peran media sebagai agen perubahan |
Hal ini dipertegas oleh Ibu Dewi Setyarini yang merupakan Komisioner
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Beliau menuturkan bahwa peran
media untuk menjadi agen perubahan (agent
of change) bagi terpenuhinya hak anak Indonesia menuju Indonesia Layak Anak
(IDOLA) 2030 juga mempunyai peranan penting.
Dimana Ibu Dewi menuturkan bahwa
“Media penyiaran perlu memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak pada setiap program
siaran, terutama dalam siaran anak, dengan menyiarkan program siaran yang
memuat pesan moral, mengandung manfaat dan menggambarkan dunia anak. Di sisi
lain, orang tua dan orang dewasa harus melakukan kontrol pula pada media yang
dikonsumsi anak. Termasuk penggunaan gawai secara bijak dan isi media yang
diperbolehkan.”
Jadi peran orang tua atau orang
dewasa untuk memperhatikan segala tontonan dan bacaan anak-anak itu penting. Hal
ini perlu dikakukan karena sudah banyak sekali kejadian buruk yang menimpa
anak-anak karena pengaruh tontonan atau bacaan yang mereka dapatkan tanpa control
orang dewasa.
Bahkan Ibu Dewi menceritakan bahwa
pada tahun 2008 silam, ada seorang anak perempuan di Inggris meninggal dengan
leher terjerat pita rambut miliknya, mirip adegan kartun. Korban menggemari
serial kartun “Dora the Explorer” dan “Go Diego Go.”
Selain itu, Tahun 2008 juga di China
ada anak berusia 7 dan 4 tahun dibakar temannya yang berusia 10 tahun. Pelaku
mengikat keduanya di sebuah pohon lalu membakarnya. Bocah itu mengaku menirukan
adegan film kartun serigala “Xi Yang-yang & Hui Tailang” dan pengadilan
negara setempat memutuskan produser bersalah terhadap dan wajib membayar
kompensasi biaya perawatan korban 15 persen.
Dan di Indonesia pun kejadian
serupa juga terjadi. Pada bulan April 2015 yang lalu ada bocah kelas 1 SD di
Pekanbaru meninggal akibat pengeroyokan teman-temannya. Peristiwa terjadi saat
korban dan teman sebayanya tengah bermain menirukan adegan perkelahian dalam
sinetron di salah satu televisi. Korban mengalami kerusakan syaraf lantaran
dipukul dengan sapu dan ditendang oleh teman-temannya.
Media mempunyai peran untuk turut mengedukasi keluarga untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) |
Jadi jika melihat contoh kasus di atas, maka begitu
fatalnya pengaruh tontonan yang dikonsumsi oleh anak-anak bahkan berujung pada
kematian. Untuk itu, diharapkan semoga semua tayangan dan berita yang disajikan
oleh media semakin ramah anak, dengan menampilkan tayangan yang berkualitas melalui
tontonan yang menghibur dan mendidik serta jauh dari kekerasan.
Namun selain itu, kepedulian
orang tua dan orang dewasa untuk mengawasi, membatasi dan menjelaskan jenis
tontonan mana yang layak dan tidak layak dinikmati anak-anak adalah sebuah
keharusan yang wajib ditekuni oleh masyarakat demi mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan seperti kejadian di atas.
Maka mulai sekarang, kita yang
bekerja sebagai media dan juga blogger, diharapkan bisa menghasilkan karya
berupa konten-konten yang inspiratif, sehingga dapat memberikan sumbangsih untuk semakin mengedukasi
masyarakat luas, supaya akan lahir anak-anak Indonesia yang memiliki karakter
yang baik, sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, dan cinta tanah air, sebab masa depan negara ini ada di tangan mereka sebagai generasi penerus bangsa.
“Di mana
kau tumbuhkan jiwamu?" tanya seseorang.
Maka aku
menjawab, "Di tempat-tempat kebaikan berada,
terutama
pada mata dan kalbu anak-anakku.”
~ Helvy
Tiana Rosa ~
Ikut prihatin dengan pola perilaku negatif yang terjadi pada anak-anak generasi sekarang.
ReplyDeleteMasyarakat harus lebih diedukasi secara kontinyu untuk berperan aktif mengawasi anak dalam banyak hal, tapi tetap dengan gaya pengawasan yang tidak mengekang anak.
Karena jika terkesan dikekang, jiwa anak akan memberontak karena labilnya usia mereka, seusia belia mereka belum paham betul mana hal yang baik dan mana hal yang tidak baik.
Baca ini jadi pengen punya anak wan.. ahaha eh otw cari ibu nya dulu yaa..
ReplyDeletebetul sekali mas kita sebagai broker punya peran yang memberikan konten positif kepada masyarakat terutama anak-anak yang merupakan generasi masa depan Indonesia
ReplyDeleteKemarin aku nonton berita tentang suatu desa di bantul yang menerapkan jam larangan gadget pada anak. Anak2 di desa itu pada jam2 yg ditentukan tidak boleh memegang gadget. Secara otomatis, "pelariannya" mereka akan beraktivitas dan berinteraksi dg sekitarnya, termasuk orangtuanya. Dan para orangtua senang dg hal ini.
ReplyDeleteAku nontonnya terharu.
.
.
.
Trus aku lupa mau komen apa ya di sini 😅😅😅
Iya harusnya konsisten ya untuk tidak menggunakan gadget berlebihan, hiks saya jadi merasa tertampar nih, insya allah harus niat yang kuat untuk bisa memerangi gadget supaya ga ketergantungan
ReplyDeleteIya prihatin ya Bang dengan kondisi anak-anak sekarang. Kalo yang sial menikah di usia dini kudu dikaji banget, kenapa mrk bs kepikiran untuk menikah. Sebenarnya kalo dilihat dari segi agama sih gak masalah, karena mereka mau menikah. Masalahnya paham engga mereka tuh tentang tujuan pernikahan dan lain2.
ReplyDeleteAku pun kaget mas pas baca berita ttg pernikahan anak2 itu, rasanya sayang bgt ya masa muda mereka tanpa merasakan pendidikan yang lebih tinggi. dan usia nya pun belum memasuki usia yang cukup untuk pernikahan, secara emosional dan kesiapan jasmani.
ReplyDeleteharus ada pihak2 yang concern terhadap hal ini.
Dengan banyaknya media yan tak sehat dan bersahabat dengan anak, perlu banget pengawasan dari orang tua, keluarga dan orang sekitar. Anak - anak harus diarahkan kembali pada hakikatnya, bermain di alam dan belajar dengan bahagia
ReplyDeleteKewajiban dan tanggung jawab orang tua memang semakin lama semakin hesar. Orang tua juga dituntut untuk melek ilmu, pengetahuan dan wawasan.
ReplyDeleteSehijSeh tau betul apa sebenarnya hak-hak anak yang semestinya dipenuhi
sering kan ya banyak kejadian anak kecil menyakiti temannya, entah mukul, smackdown, atau malah ada yg sampe membunuh.. serem bgt dan miris melihatnya.. benar tuh ga cuma orangtua si anak aja yang harus lebih memperhatikan hal ini, tapi seluruh masyarakat juga, yg belum punya anak pun juga.. biar generasi penerus bangsa kita nantinya ga akan jadi generasi yang berperilaku negatif.
ReplyDeleteFenomena pernikahan dini anak-anak 13 sama 14 tahun itu juga biki akh geleng-geleng kepala mas.. Sempet kaget juga kok bisa ya. Memang ya peran media itu sangat penting demi masa depan anak bangsa
ReplyDeleteSepakat. Media banyak sekali fungsinyà terutama menyampaikan informasi positif kepada masyarakat luas akan hal hal yang bermanfaat. Seperti menyampaikan cara atau trik pola asuh anaknyang baik
ReplyDeleteAku senang deh kalau ibu Lenny ini udah memaparkan tentang anak ya gamblang dan lugas. Menurut aku banyak kejadian sekarang ini dari anak kepada anak yang karena kurangnya hal mereka secara real.
ReplyDeletedewasa ini tantangan orang tua semakin berat yaa Mas, anak-anak dengan mudah mendapatkan informasi dan tontonan dari segala sumber, kita harus pandai memilah mana yang baik untuk mereka tanpa membatasi rasa ingintahunya. saya nih masih berusaha banget untuk mengurangi instensitas penggunaan gadget pada anak saya
ReplyDeleteAh terima kasih sharingnya, dan sebagai seorang ibu, saya selalu nerasa was was dengan perkembangan zaman sekarang, apalagi mendidik zaman sekarang itu tantangannya luar biasa, banyak pengaruh yang bisa mempengaruhi anak dan orang tua, terima kasih sudah diingatkan
ReplyDeleteWah bagus ini, sedikit menyoroti yg kebebasan beragama, sebagai orangtua tentu saja harus mengarahkan anak pada ajaran agama yg diyakini kebenarannya. Yg penting itu sih kalau kuat pondasi agamanya, diberi kebebasan memilihnya juga nanti dia akan memilih sesuai yg sudah ditanamkan dan diyakini kebenarannya dari kecil :)
ReplyDeleteMedia sekarang lebih sering mengejar profut, dari pada menjadi pilar pembangunan bangsa. mereka lupa akan perannya sebagai media edukasi, persuasi dan informasi. Yang dikejar bagian hiburannnya mulu
ReplyDeleteSebenarnya di blog blog banyak bertebaran konten yang ramah anak, namun seperti kita tahu daya literasi masyarakat kita rendah. Mereka lebih suka menyaksikan tontonan di televisi yang kita tahu, begitulah... sebaiknya pemerintah lebih galak lagi pada media-media seperti televisi ini yang lebih banyak menyentuh masyarakat...
ReplyDeleteWuaaahhh usia 13-14 tahun aku masih main di sawah sebelah sekolah, masih naksir2an kyknya, tapi gk pernah sekalipun mikirin nikah hohoho...
ReplyDeleteYa Allah itu ngeri amat ya kejadian bakar teman oleh anak.
Anak2ku gk pernah nontonTV lokal, lbh suka aku setelin yg khusus channel anak2. Itu aja kudu diawasin terus mas.
Moga2 media bisa lbh aktif membantu masyarakat khususnya ortu supaya bisa bikin konten2 yg lbh layak ditonton anak ya, namun tentu aja peran ortu memilah2 tayangan jg penting sih...
Media apalagi gadget memberikan dampak luar biasa pada perkembangan sikap dan perilaku anak. Org tua hrs mampu mengcounter semua pengaruh buruk gadget tersebut dg mrnciptakan lingkungan keluarga yg nyaman dan mengayomi anak.
ReplyDelete