Saturday, January 27, 2018

Sepotong Suara Hati di Sebuah Sore




Aku pernah merasakan sakitnya dikhianati,
diacuhkan oleh cinta yang kupuja,
dilupakan oleh orang yang tak bisa kulupakan.
Dibuang oleh kekasih yang begitu kusayang.


Aku pernah merasakan hancurnya hatiku berkeping-keping,
merasakan hidup tak lagi memberiku tempat,
dunia gelap segelap-gelapnya,
aku hilang arah,
aku remuk,
dadaku sesak,
dan aku menyerah,
tepatnya aku enggan untuk menghirup udara lagi.

Tapi Tuhan masih sayang aku. 

Warasku berbicara,
dan seteguk air mata yang kembali jatuh sore itu menyadarkanku,
bahwa aku tak pantas memperjuangkan orang yang tak ingin diperjuangkan,
mempertahankan orang yang tak lagi ingin disampingku. 

Kini aku sadar,
tak sepantasnya aku menggadaikan kebahagiaanku padamu,
pada hatimu yang tak pernah menginginkan hatiku.

Awalnya berat aku menekuni rasa sakitku,
tapi aku tak ingin dirundung kecewa yang tak berkesudahan,
aku mencoba bangkit dari luka yang ada,
melaju bersama secuil harap untuk kembali menata hidup,
bahwa aku layak bahagia meski tanpamu.

Kini aku sudah bisa melangkah meski tertatih,
aku sudah bisa tersenyum meski belum mampu tertawa,
aku bukanlah lagi aku yang rapuh,
aku tegar, aku kuat,
Bukan untukmu tapi untuk diriku sendiri.

Belajarlah mencintai dengan tulus,
belajarlah menerima dengan lapang,
Kau tak bisa menuntut yang terbaik,
sebab kau juga bukan yang terhebat.


Hanya satu yang kupinta,
janganlah lagi menatahkan hati orang yang mencintaimu,
cukup sudah aku yang terluka,
biarlah hanya aku yang kau sakiti,
jangan ada hati lain yang kau korbankan.
Sudah cukup, Cukup aku saja!



~ R.A ~



***

Kutemukan selembar ketas berisi coretan itu terselip di sebuah buku bersampul coklat muda, bertulis tangan dengan sangat rapi, terletak di antara buku-buku tua di rak buku paling ujung, dekat jendela yang menghadap taman bunga teratai dan air mancur.

Siapakah yang memiliki kertas itu? dan kenapa surat itu bisa nyasar di salah satu buku di perpustakaan ini? entahlah, mungkin ketinggalan atau memang sengaja ditingggalkan, tapi sepertinya sengaja ditinggalkan, supaya suatu saat surat itu sampai pada seseorang, atau memang ini cara dia melepaskan rasa cintanya? 

Entahlah...

Kumelipat kembali kertas itu, dan memasukannya kembali di antara halaman 107 - 108 seperti semula. Kemudian aku bergegas meninggalkan ruangan yang mulai sunyi, sebab senja sebentar lagi akan bertandang, dan aku ada janji bertemu seseorang di sebuah cafe tak jauh dari perpustakaan ini.

Tapi tunggu, 

Coretan berinisial R.A itu mengingatkanku pada seseorang, apakah itu dia? gumamku ragu, dan wajah seseorang tiba-tiba menjelma begitu nyata. 


No comments:

Post a Comment